Home / Travel / Pengalaman Mendaki Gunung Panderman, Mendaki Gunung itu Bukan Seperti ke Dufan

Pengalaman Mendaki Gunung Panderman, Mendaki Gunung itu Bukan Seperti ke Dufan

Kasus tewasnya wisatawan warga negara Brazil, Juliana Marins, akibat kecelakaan saat melakukan pendakian di Gunung Rinjani telah menjadi sorotan dan viral di berbagai platform media sosial. Dari beragam tanggapan dan komentar yang beredar luas, terlihat jelas bahwa banyak netizen masih memiliki pandangan yang keliru, menganggap kegiatan mendaki gunung itu seolah hanya seperti aktivitas healing biasa saja, atau piknik yang santai.

Perlu dipahami, mendaki gunung bukanlah rekreasi layaknya bermain di taman hiburan. Meskipun menjadi aktivitas yang sangat menyenangkan dan menantang bagi para pecinta alam, bahkan bagi mereka yang baru memulai atau sekadar ikut-ikutan, ini bukan berarti dapat dilakukan dengan mudah. Seorang pendaki berpengalaman pun wajib memiliki persiapan yang matang sebelum menaklukkan gunung, apalagi jika itu adalah gunung baru dengan tingkat kesulitan tinggi.

Gunung bukanlah dunia fantasi yang keamanannya terukur dan terencana dengan pasti. Setiap gunung memiliki karakteristik unik serta tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Gunung Rinjani sendiri dikenal sebagai salah satu gunung dengan tantangan pendakian yang cukup tinggi. Bagi para pemula, mendaki Gunung Rinjani memerlukan persiapan yang ekstra cermat dan idealnya didampingi oleh profesional yang sangat mengenal detail dan seluk-beluk gunung tersebut.

Pendakian Rinjani menuntut kesiapan menghadapi berbagai rute jalan yang terjal, licin, dan berbahaya. Belum lagi, banyak jalur yang langsung berbatasan dengan jurang-jurang dalam, meningkatkan risiko yang signifikan. Perubahan cuaca yang cepat dan ekstrem, mulai dari kabut tebal, udara dingin menusuk, hujan deras, angin kencang, hingga badai petir, seringkali menjadi tantangan mematikan bagi para pendaki.

Selain itu, apabila terjadi insiden buruk seperti yang menimpa mendiang Juliana Marins, proses evakuasi penyelamatan pastilah jauh lebih sulit dari yang bisa dibayangkan. Kecelakaan di gunung umumnya terjadi di medan ekstrem, sehingga proses rescue tidak dapat dilakukan sembarangan mengingat tingkat kesulitannya yang sangat besar. Tim penyelamat tidak hanya berpacu melawan waktu yang menjadi ancaman maut, tetapi juga harus berjuang melawan keterbatasan diri mereka sendiri, dituntut memiliki kondisi fisik dan mental prima, serta perhitungan yang presisi terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang tak menentu.

Kisah indah tentang gunung memang selalu menginspirasi dan memantik keinginan untuk mencoba, sebab setiap gunung pasti menyimpan pesona dan ceritanya sendiri. Namun, di balik keindahannya, tersimpan bahaya mematikan dan risiko keselamatan yang harus dihadapi. Bahaya paling nyata dan seringkali fatal adalah risiko terjatuh, seperti yang tragisnya dialami mendiang Juliana Marins. Permukaan batuan yang kasar, curam, serta jurang yang dalam dapat menyebabkan cedera parah seperti fraktur atau patah tulang yang serius, bahkan berujung pada kematian. Kondisi medan yang berat pun kian mempersulit proses penyelamatan dan evakuasi yang tidak bisa dilakukan terburu-buru.

Oleh karena itu, sebelum terlibat dalam pendakian gunung, bahkan untuk gunung yang dianggap paling mudah sekalipun, setiap pendaki harus memiliki pemahaman penuh akan risiko dan bahaya yang mungkin dihadapi. Langkah-langkah persiapan mendaki gunung harus diperhatikan dengan sangat cermat, meliputi kondisi fisik, mental, kelengkapan dan peralatan keselamatan, bekal makanan, hingga informasi terkini mengenai kondisi cuaca dan aktivitas vulkanik di gunung tujuan.

Dulu, di pertengahan era 1980-an saat masih kuliah, saya pun sempat berpandangan bahwa naik gunung hanyalah kegiatan rekreasi biasa, mirip dengan aktivitas alam lainnya yang nyaman tanpa ada kekhawatiran berarti. Suatu ketika, saya dan beberapa teman sepakat untuk mendaki Gunung Semeru atau Gunung Lawu. Namun, sebagai pengenalan bagi kami yang masih sangat pemula, seorang rekan yang sudah berpengalaman menyarankan untuk menjajal Gunung Panderman terlebih dahulu.

Begitulah, kami berdelapan akhirnya sepakat mendaki Gunung Panderman yang terletak di Kota Batu, Malang. Gunung Panderman tergolong sangat mudah didaki, bahkan bagi pemula, dengan ketinggian sekitar 2045 mdpl dan jalur yang sebagian besar cukup landai. Namun, karena kami menganggapnya pendakian biasa, kami merasa tidak perlu ada persiapan fisik maupun mental khusus. Perlengkapan pun seadanya saja, hanya membawa banyak makanan dan minuman, layaknya piknik.

Kami berangkat dari Kota Malang sore hari. Setelah istirahat sejenak dan menitipkan kendaraan, kami pun mulai beranjak menuju puncak. Awalnya memang terasa mudah karena melewati jalur makadam. Namun, setelah berjalan sekitar satu jam, jalan mulai menanjak dan melewati semak-semak lebat. Estimasi waktu ke puncak adalah tiga hingga empat jam. Berjalan dalam kegelapan hanya bermodalkan senter, ditemani suara angin yang menderu seperti truk besar lewat, perlahan mulai menyurutkan semangat kami.

Awalnya kami masih diselimuti canda tawa, namun seiring waktu, jalan semakin sempit dan sulit. Di samping kami, jurang sudah menganga, beruntung banyak semak-semak yang bisa kami jadikan pegangan. Nyali mulai ciut, otot dan otak menegang, meskipun kami masih berusaha untuk tetap santai. Jalur semakin terjal dan menyulitkan, beban bawaan terasa semakin berat, dan candaan pun lenyap tak bersisa.

Beberapa dari kami, termasuk saya, sudah mulai terengah-engah dan tak henti bertanya kapan sampai. Rekan yang memimpin rombongan selalu menjawab, “Sebentar lagi, tinggal seratus meter.” Jawaban itu terulang berkali-kali, namun puncak tak kunjung terlihat. Akhirnya, saya dan dua teman memilih singgah untuk beristirahat karena sudah sangat lelah dan mengantuk. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, berarti kami sudah mendaki sekitar tiga jam sejak pukul delapan.

Di balik sebuah batu besar yang cukup aman, saya dan teman akhirnya memilih untuk beristirahat dan tertidur di sana. Terbangun saat subuh, pemandangan yang tersaji sungguh luar biasa. Keindahannya diiringi perasaan takjub akan kebesaran Sang Maha Pencipta, membuat diri ini merasa begitu kecil di hadapan-Nya. Kami pun segera menyusul teman-teman yang sudah berada di puncak, yang ternyata sudah sangat dekat.

Setelah puas menikmati keindahan puncak Panderman, kami memutuskan untuk turun. Satu hal yang bisa saya katakan tentang perasaan di puncak gunung ini adalah merasakan kebesaran dan keagungan Tuhan yang Maha Pencipta dan Kuasa. Lelah yang dirasakan saat mendaki seolah sirna ketika sampai di puncak dan menikmati suguhan alam; perpaduan hijaunya pepohonan yang ditimpa kilau mentari pagi bersama gradasi kabut, kecilnya benda-benda di kejauhan, serta suara angin yang menderu—sungguh momen yang tak ternilai harganya.

Puas di puncak, saya pikir perjuangan sudah selesai, kini saatnya pulang dengan santai. Namun, ternyata penderitaan saat pendakian tidak ada apa-apanya, karena perjuangan turun jauh lebih berat. Medan yang terjal menurun membuat kami seperti meluncur ke bawah dan harus menahan agar tidak terguling jatuh, yang sungguh melelahkan. Akhirnya, kami memilih jalan ngesot di sepanjang jalur penurunan yang curam.

Alhamdulillah, kami tiba di kaki gunung dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Malah, kami bertambah pengalaman yang penuh hikmah dari sebuah gunung yang sebelumnya kami anggap biasa saja. Setibanya di rumah, episode “penderitaan” masih berlanjut, yaitu rasa sakit di sekujur tubuh, terutama di paha dan betis, yang menyebabkan sakit luar biasa setiap kali ingin jongkok, khususnya saat buang air besar. Rasa sakit ini bahkan bertahan hingga satu minggu.

Semua rasa lelah, capek, tegang, dan sakit yang kami rasakan itu murni karena kami menganggap enteng perjalanan naik gunung. Ini baru sekelas Gunung Panderman, yang boleh dibilang level kesulitannya tidak ada apa-apanya dibanding gunung-gunung ekstrem seperti Semeru atau Rinjani.

Sekali lagi, naik gunung itu bukanlah hiburan seperti pergi ke dunia fantasi yang penuh wahana buatan yang dirancang khusus untuk rekreasi. Gunung diciptakan bukan untuk hiburan; apa yang akan terjadi di sana bisa tidak terprediksi sebelumnya. Meskipun sensasi kenikmatan mendaki gunung begitu mendalam, perjuangannya sepadan, bahkan mungkin jauh lebih besar dari kenikmatan yang kita rasakan. Jujur saja, dengan kondisi saya saat masih muda dulu, apalagi dengan kondisi saya sekarang, untuk mendaki gunung ekstrem seperti Semeru, Rinjani, bahkan Bawakaraeng, saya angkat tangan.

Apa yang terjadi pada mendiang Juliana Marins tentu harus menjadi pengingat dan pelajaran berharga bagi siapapun tentang betapa berbahayanya aktivitas pendakian gunung itu, serta betapa sulitnya persiapan dan respons cepat dalam situasi darurat ketika terjadi musibah yang tidak kita inginkan. Keselamatan pendakian adalah prioritas utama yang tidak boleh diabaikan.

Ringkasan

Kasus meninggalnya Juliana Marins di Gunung Rinjani menyoroti pandangan keliru masyarakat yang menganggap pendakian gunung sebagai aktivitas santai. Padahal, mendaki gunung adalah kegiatan menantang yang menuntut persiapan matang, karena setiap gunung memiliki karakteristik unik serta tingkat kesulitan dan bahaya yang berbeda, seperti medan terjal, jurang, dan perubahan cuaca ekstrem. Insiden di medan sulit juga membuat proses evakuasi dan penyelamatan menjadi sangat kompleks.

Oleh karena itu, pemahaman akan risiko dan persiapan mendaki gunung sangat krusial, meliputi kondisi fisik dan mental, perlengkapan keselamatan, serta informasi cuaca. Pengalaman penulis mendaki Gunung Panderman tanpa persiapan memadai, meskipun gunung tersebut tergolong mudah, membuktikan bahwa perjalanan mendaki bukanlah hiburan biasa dan dapat menyebabkan kelelahan serta rasa sakit yang signifikan. Kejadian di Rinjani menjadi pengingat penting akan bahaya dan prioritas keselamatan dalam setiap pendakian gunung.

Tag: